Angin berhembus kencang.
Dia masih merana.
Terik panas, badai hujan,
Dia tetap sama.
Hidup membawanya pada titik beku dimana dia tidak lain tidak bukan adalah hanya seonggok daging yang dilapisi es. Dan angin masih tetap berhembus kencang... Dia kebal pada tangisan dan sudah bosan dengan teriakan. Dia letih terhadap penolakan, jenuh akan kesemuan. Sialnya, angin masih saja berhembus kencang.
Baginya, angin kencang adalah pertanda bahwa waktu berjalan. Bahwa dia masih hidup. Dan selama masih hidup, artinya dia masih akan terus memiliki kesempatan, sebenarnya.
Namun sore itu, menurut dia, angin sedang merangkak tertatih. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Semilir angin menerpa wajah pucatnya. Hmm... masih bergerakkah waktu? [nyatanya waktu tidak pernah berhenti]. Sore ini lebih dingin dibanding biasanya. Burung-burung gereja yang biasa hinggap di sekitarnya [dan biasanya tidak peduli akan kehadiran dia] tidak terlihat dimanapun. Aneh.
Dia melihat sepasang suami istri bergandengan tangan berjalan melaluinya [seperti biasa tidak ada seorang pun peduli kepadanya, bahkan tidak juga anjing-anjing liar sialan itu, walau anjing pun sebetulnya bukan orang]. Ha. Masa lalu... pikirnya. Masa lalu, baginya sama seperti daya khayal. Dia bahkan tidak tau [atau tidak mau tau] yang mana yang kenyataan, yang mana hasil imajinasinya. Buat dia, apa yang terpikir olehnya akan masa lalu yang telah terjadi, atau masa lalu yang dapat terjadi, atau pun yang seandainya terjadi, apalagi yang mungkin saja terjadi, adalah sama. Pokoknya, dia tidak mau repot-repot. Titik.
Namun sore itu, segalanya memang sedang tidak seperti biasanya. Seorang lelaki tua berumur 50-an menghampirinya. Dia kenal pria itu. Dan dia tidak berniat untuk membuka mulutnya. Bukan takutnya bau [dia memang sudah lupa kapan terakhir kali menyikat giginya], namun dia memang telah memutuskan dari jauh-jauh hari untuk tidak pernah membuka mulut bagi lelaki itu.
Lelaki itu menghampirinya, menyunggingkan senyum kecilnya yang khas [dan menyebalkan], membisikinya 3 patah kata dalam waktu 3 detik dengan jumlah 13 huruf.
Oh.
Itu saja cukup. Lelaki itu kemudian berbalik badan dan berjalan seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
Angin bertiup kencang. Dia yang telah dibisiki si pria yang nampaknya senang berbisik-bisik tersebut [padahal tidak ada orang di sekitar, buat apa berbisik?] telah menerima pemahaman baru. Sore itu, dia memutuskan untuk melakukan sebuah revolusi : dia pergi ke sebuah mall besar di kotanya, kemudian masuk lift, dan menekan tombol paling atas : angka 13. Dia keluar, sebuah senyum tersungging di wajahnya. Mall itu ramai seperti biasanya, entah hari apa ini. Nampaknya sedang akhir minggu sebab dia melihat orang dimana-mana, berjejal seperti ikan sarden yang dimasukkan ke kaleng yang hanya cocok diisi kecoak. Berdempet-dempetan di sana sini.
Beberapa orang tersenyum padanya, entah karena apa. Mungkin karena dia sendiri tersenyum, mungkin karena penampilan dia menarik perhatian orang lain, atau mungkin karena-karena yang lain yang dia sendiri tidak peduli, jadi lebih baik tidak diperbincangkan.
Dia berjalan perlahan menuju pusat lantai 13 tersebut, sebuah lingkaran bolong besar dimana terdapat pagar pembatas di sekitarnya. Dia menumpukan tangannya pada besi yang dibangun di pagar pembatas tersebut, dan melihat pemandangan ke bawah. Setengah jam dia menumpukan tangannya di salah satu tungkai besi tersebut, memandang ke bawah, lantai terbawah, dimana para sarden, uhm, manusia, sedang lalu lalang. Bagi dia, saat ini waktu berhenti. Segalanya terasa beku sekaligus mendidih. Dia sebenarnya lupa kapan terakhir kali dia merasa. Sepertinya hari ini dia kembali merasa lagi. Dan hal tersebut meninggalkan kesan-kesan tersendiri baginya.
Dia menyunggingkan senyum kecilnya yang bisa jadi khas [siapa tau?]. Entah berkhayal atau tidak, dia merasakan semilir angin menerpa wajahnya dengan cukup kencang, namun tidak membuat dirinya menggigil. Rasanya seperti menyiratkan fakta bahwa masih tersisa waktu untuknya. Hmm. Bagus, pikirnya. Kemudian dia naik ke atas pagar lingkaran tersebut. Dia menghitung dalam hatinya. Uno, dos, tres. Dia meloncat, terjun bebas. Gravitasi menang. Gravitasi selalu menang. Dia tidak pernah kembali lagi. Tidak ada seorang pun datang mencarinya. Angin tidak berhembus lagi untuknya. Ah, sebetulnya angin bahkan tidak pernah sekalipun berhembus hanya untuknya. Angin kan hanya angin.
Dia masih merana.
Terik panas, badai hujan,
Dia tetap sama.
Hidup membawanya pada titik beku dimana dia tidak lain tidak bukan adalah hanya seonggok daging yang dilapisi es. Dan angin masih tetap berhembus kencang... Dia kebal pada tangisan dan sudah bosan dengan teriakan. Dia letih terhadap penolakan, jenuh akan kesemuan. Sialnya, angin masih saja berhembus kencang.
Baginya, angin kencang adalah pertanda bahwa waktu berjalan. Bahwa dia masih hidup. Dan selama masih hidup, artinya dia masih akan terus memiliki kesempatan, sebenarnya.
Namun sore itu, menurut dia, angin sedang merangkak tertatih. Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Semilir angin menerpa wajah pucatnya. Hmm... masih bergerakkah waktu? [nyatanya waktu tidak pernah berhenti]. Sore ini lebih dingin dibanding biasanya. Burung-burung gereja yang biasa hinggap di sekitarnya [dan biasanya tidak peduli akan kehadiran dia] tidak terlihat dimanapun. Aneh.
Dia melihat sepasang suami istri bergandengan tangan berjalan melaluinya [seperti biasa tidak ada seorang pun peduli kepadanya, bahkan tidak juga anjing-anjing liar sialan itu, walau anjing pun sebetulnya bukan orang]. Ha. Masa lalu... pikirnya. Masa lalu, baginya sama seperti daya khayal. Dia bahkan tidak tau [atau tidak mau tau] yang mana yang kenyataan, yang mana hasil imajinasinya. Buat dia, apa yang terpikir olehnya akan masa lalu yang telah terjadi, atau masa lalu yang dapat terjadi, atau pun yang seandainya terjadi, apalagi yang mungkin saja terjadi, adalah sama. Pokoknya, dia tidak mau repot-repot. Titik.
Namun sore itu, segalanya memang sedang tidak seperti biasanya. Seorang lelaki tua berumur 50-an menghampirinya. Dia kenal pria itu. Dan dia tidak berniat untuk membuka mulutnya. Bukan takutnya bau [dia memang sudah lupa kapan terakhir kali menyikat giginya], namun dia memang telah memutuskan dari jauh-jauh hari untuk tidak pernah membuka mulut bagi lelaki itu.
Lelaki itu menghampirinya, menyunggingkan senyum kecilnya yang khas [dan menyebalkan], membisikinya 3 patah kata dalam waktu 3 detik dengan jumlah 13 huruf.
Oh.
Itu saja cukup. Lelaki itu kemudian berbalik badan dan berjalan seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
Angin bertiup kencang. Dia yang telah dibisiki si pria yang nampaknya senang berbisik-bisik tersebut [padahal tidak ada orang di sekitar, buat apa berbisik?] telah menerima pemahaman baru. Sore itu, dia memutuskan untuk melakukan sebuah revolusi : dia pergi ke sebuah mall besar di kotanya, kemudian masuk lift, dan menekan tombol paling atas : angka 13. Dia keluar, sebuah senyum tersungging di wajahnya. Mall itu ramai seperti biasanya, entah hari apa ini. Nampaknya sedang akhir minggu sebab dia melihat orang dimana-mana, berjejal seperti ikan sarden yang dimasukkan ke kaleng yang hanya cocok diisi kecoak. Berdempet-dempetan di sana sini.
Beberapa orang tersenyum padanya, entah karena apa. Mungkin karena dia sendiri tersenyum, mungkin karena penampilan dia menarik perhatian orang lain, atau mungkin karena-karena yang lain yang dia sendiri tidak peduli, jadi lebih baik tidak diperbincangkan.
Dia berjalan perlahan menuju pusat lantai 13 tersebut, sebuah lingkaran bolong besar dimana terdapat pagar pembatas di sekitarnya. Dia menumpukan tangannya pada besi yang dibangun di pagar pembatas tersebut, dan melihat pemandangan ke bawah. Setengah jam dia menumpukan tangannya di salah satu tungkai besi tersebut, memandang ke bawah, lantai terbawah, dimana para sarden, uhm, manusia, sedang lalu lalang. Bagi dia, saat ini waktu berhenti. Segalanya terasa beku sekaligus mendidih. Dia sebenarnya lupa kapan terakhir kali dia merasa. Sepertinya hari ini dia kembali merasa lagi. Dan hal tersebut meninggalkan kesan-kesan tersendiri baginya.
Dia menyunggingkan senyum kecilnya yang bisa jadi khas [siapa tau?]. Entah berkhayal atau tidak, dia merasakan semilir angin menerpa wajahnya dengan cukup kencang, namun tidak membuat dirinya menggigil. Rasanya seperti menyiratkan fakta bahwa masih tersisa waktu untuknya. Hmm. Bagus, pikirnya. Kemudian dia naik ke atas pagar lingkaran tersebut. Dia menghitung dalam hatinya. Uno, dos, tres. Dia meloncat, terjun bebas. Gravitasi menang. Gravitasi selalu menang. Dia tidak pernah kembali lagi. Tidak ada seorang pun datang mencarinya. Angin tidak berhembus lagi untuknya. Ah, sebetulnya angin bahkan tidak pernah sekalipun berhembus hanya untuknya. Angin kan hanya angin.
paaaaaams.... hallo... pams, adakah maksud yang ingin kau sampaikan? hehehe keren nih pamski sekarang tulisannya, beraaaaat ^o^V
ReplyDelete